Pengalaman Pertama Keluarga Kami di Pulau Burung

 



 








Sudah dua tahun kami sekeluarga pindah ke sini. Pulau Burung. Sebuah desa di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Kami berdua(suami) aslinya dari Ambon. namun sudah tujuh belas tahun saya berdiam di Jakarta, sedangkan suami sekitar dua puluh dua tahun tinggal di Jakarta. Pekerjaan saya yang lama di Bursa Komoditi Jakarta menghadapi masalah. Kami puluhan orang diberhentikan tanpa pesangon padahal masa kerja kami rata-rata di atas sepuluh tahun. Menghadapi masa-masa sulit di Jakarta dalam memperjuangkan hak kami, akhirnya kami menyerah, karena bagaimanapun yang beruanglah yang pasti menang. Untuk mengisi waktu luang saya aktif di Organisasi Pemuda Maluku Bersatu (PMB) sekarang PMIB (Pemuda Maluku Indonesia Bersatu) daerah Jakarta selatan, juga di Kumpulan Masyarakat Maluku di Bintaro yaitu SASEMPE. SASEMPE-lah membuat kami sekeluarga bisa sampai di Pulau Burung ini.

Pertama menginjakkan kaki kami di Pulau Burung ini kami kaget setengah mati. Sedikitpun tak ada bayangan tentang desa ini. Dari Jakarta saya hanya dibilang kami akan ke Batam. Sementara Batam pun belum pernah saya kunjungi. Perasaan campur aduk ada dalam benak kami masing-masing. Chelsea (putri pertamaku) dan Joy(adiknya) langsung nangis. Betapa tidak, mereka dari kota yang begitu ramai dan gemerlap dan tiba di tempat ini yang begitu sepi dan tanpa suara kendaraan sekalipun. sepi dan sunyi. Apalagi kami menemukan banyak kejutan-kejutan berikutnya yang membuat kami serasa ingin lari balik ke Jakarta.

Kami dari Jakarta sekitar jam 05.00 pagi, tiba di Bandara Soekarno-Hatta kurang lebih jam 06.00 WIB. Kami berangkat dari bandara ke Batam sekitar jam 07.00 WIB. Tiba di Batam kurang lebih jam 09.00 WIB. Setelah tiba di Batam itulah saya baru diberitahu kalau kami bukan tinggal di Batam tapi akan menyeberang dengan kapal laut ke Pulau Burung. Sebuah nama yang seumur hidup baru aku dengar saat itu. Aku pingin marah tapi sudah tidak ada gunanya lagi. Saya belum pernah ke Batam jadi belum tahu seberapa ramainya Batam yang terkenal itu. Tapi yang saya tahu Batam kok sepi amat yah, karena kami hanya lewat saja dari bandara ke pelabuhan kapal Marina.
Setelah menginjakkan kaki di Pulau Burung kami mendapatkan kejutan pertama, tidak ada mobil sama sekali. Kedua anak kami bertanya, "mobilnya mana Ma, sudah capek nih!" Saya yang memang belum tahu di sini tidak ada angkot/mobil menjawab polos, mungkin ke depan lagi. Tapi kami tidak juga menemukan angkutan apapun apalagi jalanan yang hanya jalanan setapak.
Kami menemukan bentuk rumah-rumah yang hampr sama, rumah papan yang berdiri di atas tiang-tiang penyanggah yang tingginya kurang lebih setengah meter(rumah gantung). Kami masih berharap setelah lewat rumah-rumah gantung ini kami akan menemukan rumah parmanen dan juga jalanan mobil. Tapi begitu kagetnya kami karena setelah masih di kompleks rumah-rumah gantung ini kami di suruh mampir di salah sebuah rumah, mulanya kami pikir mungkin mereka yang mengantar merasa kasihan dan menyuruh kami beristirahat dulu melepas lelah karena anak-anak kami mengeluh sepanjang jalan.

Benar-benar sebuah kejutan lagi karena ternyata kami diberitahukan bahwa inilah rumah kami di Pulau Burung. Chelsea dan Joy langsung nangis. Saya hampir pingsan karena tidak pernah diberitahu sebelumnya kami akan tinggal di tempat seperti ini.
Dengan perasaan yang bercampur aduk kami masuk dengan takut ke rumah kami yang baru, kami takut rumahnya akan ambruk karena berat badan kami.

Hari pertama saya katakan buat anak-anak, sabar ya mungkin di sebelah sana ada pasar atau mall yang bisa kita kunjungi, ada mobil yang bisa kita naiki.
Yang membuat anak2 kami agak gembira karena tak jauh dari rumah kami ada pantai yang ingin mereka kunjungi besok hari. Maklum karena di Jakarta mereka jarang melihat pantai ataupun laut.

Hari kedua kami jalan-jalan di pantai pulau burung melihat-lihat laut dan kapal-kapal kecil yang hilir mudik sekaligus agar anak-anak tidak ngambek menemukan kenyataan mereka di sini.

Hari ketiga saya bersama suami(Karel D. Tomasoa) dan saudara kami yang bersama kami dari Jakarta menghadap pimpinan perusahaan yang akan mempekerjakan kami.

Karel suamiku langsung bekerja, sedangkan saya menunggu hari senin karena saya ditempatkan di sekolah perusahan yaitu Sekolah Mutiara Hati.

Hari pertama masuk kerja, saya diterima dengan ramah oleh rekan-rekan guru dan kepala sekolah. Ada kejadian lucu dengan air di sekolah dan yang ternyata di sebagian besar Pulau Burung ini. Airnya merwarna merah. Mulanya saya ke toilet, setelah masuk toilet saya kaget airnya kok kotor. Saya tidak jadi masuk. Hari kedua juga begitu, pikiranku kok toiletnya ngak di bersihkan juga. Hari ketiga berlalu saya masih tidak berani bertanya. Tapi hari keempat saya memberanikan diri bertanya kepada Pak De, petugas kebersihan di sekolah, "Pak kok toiletnya nggak dibersihkan? jawab Pak De, kenapa Bu!, kata saya lagi, bak airnya kok masih merah, jawab Pak De lagi, memang air di sini merah Bu, tapi bersih. Oh, saya sampai malu karena pikir toiletnya kotor. Hari dan minggu-minggu pertama saya masih suka sanksi, apakah tidak apa2 kalau saya menggunakan air ini untuk di toilet.
Dalam benakku mungkin kami tidak akan lama di sini. Tapi nyatanya dengan bergulirnya waktu kami bisa betah juga berada di sini. Joy sudah kelas tiga SD dan Chelsea kelas satu SMP. Mereka menikmati hidup dengan kesederhanaan desa ini. Sekalipun sewaktu- waktu masih bertanya, "Kapan pulang ma?".









Komentar

  1. Bisa juga ya lihat Pulau Burung?

    BalasHapus
  2. aku juga pernah kesana kangen juga naik pompong ke sp 1

    BalasHapus
  3. missing pulau burung
    kapan bsa pulang -_-

    BalasHapus
  4. Nenek ku di sungai gunung mbak.
    Tapi tante dan oom ku di pulau burung.
    Dah 2 tahun tak balek ke pulau burung.
    Rindu k sna, rindu semua keluarga di sna, rindu air merah nya, rindu logat bicara org sna, rindu bunyi pabrik, rindu aroma kelapa dari pabrik, rindu naik pompong atuk juga..
    Rindu pulau burung.. 😭

    BalasHapus
  5. Apakah disana ada pusat keramaian, semacam supermarket, bioskop atau yang lain?

    BalasHapus
  6. Mksh semua utk komennya, yg kangen datanglah ke p. Burung, airnya msh merah, km betah di sini, di suasananya yg tenang tdk hiruk pikuk kayak jkrt, tp kadng 2 mshlah kangen jkrt, he...jd klu lbran n ada rezeki kt jalan2 ke sana.

    BalasHapus
  7. Wah saya baru mau kesana, awalnya ragu melihat kondisi disana, tapi mendengar cerita ibuk saya jadi punya ke inginan lagi...

    BalasHapus
  8. wah temapat kelahiran Q,, blum tau sama2 sekali ky gmna tempat.a,, dari msih bayi sudah pindah

    BalasHapus
  9. waduh kebetulan saya di terima kerja di pt.Rsup-industry,mohon saran dan masukan ny y teman2 ?sebab saya tinggal di sumatera selatan ,bingung mw saya ambil atau tidak.trima kasih

    BalasHapus
  10. Saya juga diterima mas, mas bagian mana? Management trainee, ditawari gji berapa mas?

    BalasHapus
  11. Kangen,
    jika ada kesempatan, ingin menginap brang beberapa hari di kilo 9 dan Labuhan.
    Banyak kisah di pulau ini.. dan pastinya tak kan terlupakan.

    BalasHapus
  12. Apakah sekarang masih tinggal disana bu ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jakarta Juni-Juli 2017

Awal Dua Ribu Tiga Belas (2013)